MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
HUKUM
PERJANJIAN
DISUSUN
OLEH :
Nama : Dian
Rosela
NPM : 23214000
Kelas : 2EB24
FAKULTAS
EKONOMI
JURUSAN
AKUNTANSI
TAHUN
AJARAN 2015/2016
UNIVERSITAS
GUNADARMA
BAB I
PEMBAHASAN
HUKUM PERJANJIAN
A.
PERJANJIAN
1.
Pengertian
Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang
kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian
tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat
interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan
hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat
dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk
saling mengikatkan diri satu sama lain.
a.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi
: “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentua pasal ini
sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-
kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
a.
Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih lainnya”.
b.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas
d.
Tanpa menyebut tujuan
e.
Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
f.
Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan
di bawah ini:
1.
syarat ada persetuuan kehendak
2.
syarat kecakapan pihak- pihak
3.
ada hal tertentu
4.
ada kausa yang halal
b.
Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan
formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari
persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain
atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
c.
Menurut Adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah
memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat
kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran
dimuka).
2.
Asas-asas perjanjian
Asas-asas perjanjian diatur dalam
KUHPerdata, yang sedikitnya terdapat 5 asas yang perlu mendapat perhatian dalam
membuat perjanjian: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda),
asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
1.
Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of
contract)
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama
memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta
ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun.
Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada
di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum
(undang-undang), kesusilaan (pornografi, pornoaksi) dan ketertiban umum
(misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).
2.
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt
Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya
salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya
dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai perjanjian – bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar
ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban
para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum – secara pasti memiliki
perlindungan hukum.
3.
Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu
pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat.
Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan,
sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap
prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas
tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis – contoh,
jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan
akta otentik Notaris.
4.
Asas Itikad Baik (good faith/tegoeder
trouw)
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat
dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan
batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan
tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
5.
Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para
pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan
kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat
mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
3.
Berakhirnya Perjanjian
1.
Sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
2.
Atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjiantersendiri.
3.
Akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya
perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota,
timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.
Pengertian Perjanjian
Internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang
diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan
akibat-akibat hukum tertentu.
2.
Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan
internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam
bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih
organisasi internasional, antarorganisasi internasional.
3.
UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian
internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur
oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah RI dengan
satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum
internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah RI
yang bersifat hukum publik.
4.
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian
internasional adalah perjanjian dalam bentukdan nama tertentu yang diatur dalam
hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik.
5.
Oppenheimer-Lauterpact, Perjanjian internasional adalah suatu
persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak
yang mengadakan.
6.
Dr. B. Schwarzenberger, Perjanjian internasional adalah persetujuan
antara subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang
mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun
multilateral. Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga
internasional dan negara-negara.
7.
Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLM, Perjanjian internasional
adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan
akibat-akibat tertentu.
Macam-macam Perjanjian Internasional :
1.
Perjanjian
Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak
yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja
(negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir
dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup
(closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara
keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama
sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat
dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun
mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah
satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian
tersebut.
2.
Perjanjian
Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau
pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum
internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral
bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak
perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang
bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah
yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang
terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus
tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian
bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya
semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki
corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian
itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum
internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut,
tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks
negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara
di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja.
Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang
membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam
perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini
cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara
umum atau universal.
BAB
II
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau
suatu peristiwa. Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang
kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian
tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat
interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan
hak dan kewajiban masing-masing. Perikatan dan perjanjian memang di kehendaki
oleh dua orang pihak yang membuat suatu perjanjian yang mereka buat merupakan
undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tirtodiningrat.
1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul
Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar