MAKALAH
ASPEK HUKUM
DALAM EKONOMI
HUKUM PERIKATAN
DISUSUN OLEH :
Nama : Dian Rosela
NPM : 23214000
Kelas : 2EB24
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN AJARAN ATA 2015/2016
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan ridho-Nya sehingga akhirnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun terdapat banyak kekurangan
dalam makalah ini, itu merupakan fakta asli kemampuan manusia yang pada
dasarnya tidak pernah luput dari khilaf dan salah.
Pada kesempatan kali ini, alhamdulillah makalah ini telah selesai
disusun dengan memanfaatkan sumber-sumber referensi
yang saya peroleh. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
wawasan lebih bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi kami sebagai tim
penyusun.
Depok, 10 April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak
sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli
suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa
hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada
buku ke III KUHPerdata(BW). Pengertian perikatan sendiri tidak diatur secara
yuridis dalam KUHPerdata tapi dapat dipahami melalui pendapat-pendapat para
Sarjana Hukum dan Ahli Hukum, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa
perikatan itu adalah hubungan hukum antara subjek hukum (debitur dan kreditur)
yang menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban) yang merupakan kepentingan di
bidang kekayaan (sesuatu yang dinilai dari nilai ekonomis).
Perikatan sendiri memiliki berbagai macam atau jenis,
berdasarkan KUHPerdata, macam-macam perikatan diuraikan sebagai berikut :
· Perikatan
Alternatif.
Perikatan
yang prestasinya dua atau lebih dari satu, tapi ihak yang berkewajiban (
debitur) hanya mempunyai kewajiban untuk melaksanakan satu prestasi saja yang
dipilih baik oleh pihak yang berhak maupun pihak yang berkewajiban.
· Perikatan Fakultatif
Perikatan
yang objek pretasinya hanya satu saja ,dan debitur dapat mengggantinya dengan
objek yang lain berdasarakan kesepakatan para pihak.
· Perikatan
generik.
Perikatan
yang objeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya.
·
Perikatan Spesifik.
Perikatan
yang objeknya ditentukan secara terperinci.
·
Perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi.
Perikatan
yang objek prestasinya dapat dibagi atau tidak dapat dibagi menurut sifat
tujuan dari pihak yang bersangkutan.
· Perikatan
tanggung renteng.
Perikatan
yang dilakukan oleh beberapa kreditur dengan satu kreditur atau sebaliknya
dengan syarat debitur atau kreditur menanggung secara keseluruhan semua
kewajiban atau hak dari debitur atau kreditur.
·
Perikatan bersyarat.
Perikatan
yang tergantung pada hal yang belum pasti terjadi.
·
Perikatan bersyarat batal.
Perikatan
yang apabila peristiwa yang belum pasti terjadi, tidak terjadi maka perikatan
tersebut batal.
·
Perikatan dengan syarat batal.
Perikatan
yang apabila tidak dilakukan prestasinya maka perikatan tersebut selesai.
· Perikatan
ketetapan waktu.
Perikatan
yang berakhir apabila jangka waktu yang ditentukan habis.
2.
Rumusan Masalah
·
Apa pengertian hukum perikatan ?
·
Apa dasar hukum perikatan ?
·
Apa saja azas – azas hukum perikatan ?
·
Apa wanprestasi dan akibat akibatnya ?
·
Mengapa hapusnya perikatan ?
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM PERIKATAN
A.
Pengertian Hukum Perikatan
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation
(Perancis, Inggris) Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan).
Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:Perikatan
adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih,
yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji
kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka
timbullah suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Intinya,
hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak
menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh
karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
B. Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber
adalah sebagai berikut :
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
·
Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi
undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar
dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang,
timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
·
Perikatan terjadi karena undang-undang
semata.
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang
letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai
kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625
KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik
pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah
dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan
kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio
naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan
keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
·
Perikatan terjadi karena undang-undang
akibat perbuatan manusia.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela (zaakwarneming).
C. Azas –Azas
dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni
menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sebagai berikut:
1.
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara
para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian
harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang
akan diadakan tersebut.
2.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu
perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah
dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa
yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian
itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
D. Wanprestrasi
dan Akibat – Akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan
apa yang diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
·
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
·
Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
·
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
·
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat
digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
·
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor.
c. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
·
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247
dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian
diadakan.
·
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi
suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan
menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
E. Hapusnya
Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan
Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan
adalah sebagai berikut :
a.
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul
perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada dua macam novasi yaitu :
1.
Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan
perikatan lain.
2.
Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
b.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara
hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara
kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara
kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya
(pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B
dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut
dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp.
400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh
Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
·
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau Berpokok sejumlah barang yang
dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah
barang yang dapat diganti.
·
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
c.
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan
hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya
dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja
diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa
pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur.
Pembebasan utang dapat terjadi dengan
persetujuan atau Cuma - Cuma. Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan
utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya
pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti
tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan
menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan,
maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan :
·
Pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang.
·
Pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak
membebaskan debitur utama.
·
Pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak
membebaskan penanggung lainnya.
d.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari
suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga
undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan
tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam
keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau
hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan
ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu
semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur
lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan
debitur.
e.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam
dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut batal
demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Undang-undang
menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi hukum jika terjadi
pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban
umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban
masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang
ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan adalah ketentun
isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini
disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu
sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan
semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat
batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru
dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau
berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat
obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan
tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat
itu.
f.
Kadaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang,
maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas
dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
·
Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”.
·
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari
tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah
terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”.
Ada juga terjemahan lain yaitu
”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja
istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perikatan sendiri tidak diatur secara yuridis dalam
KUHPerdata tapi dapat dipahami melalui pendapat-pendapat para Sarjana Hukum dan
Ahli Hukum, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatan itu adalah
hubungan hukum antara subjek hukum (debitur dan kreditur) yang menimbulkan
prestasi (hak dan kewajiban) yang merupakan kepentingan di bidang kekayaan
(sesuatu yang dinilai dari nilai ekonomis).
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat yaitu sebagai berikut:
·
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara
para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian
harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang
akan diadakan tersebut.
·
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu
perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah
dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
·
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa
yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
·
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian
itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
DAFTAR PUSTAKA
Tirtodiningrat.
1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul
Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sangat bermanfaat mba.btw apa ya konsekwensinya kalau tidakterpenuhi syarat syahnya perjanjian.
BalasHapusSangat bermanfaat mba.btw apa ya konsekwensinya kalau tidakterpenuhi syarat syahnya perjanjian.
BalasHapusSangat bermanfaat mba.btw apa ya konsekwensinya kalau tidakterpenuhi syarat syahnya perjanjian.?
BalasHapus